SAPARDI DJOKO DAMONO
Sapardi Djoko Damono (nacido el 20 de marzo 1940 en Surakarta, Java Central) es un poeta indonesio conocido por sus poemas líricos, y que es ampliamente considerado como el pionero de la poesía lírica en Indonesia.
Es un reconocido poeta y fue profesor de Literatura en la Univ. de Jakarta hasta su retiro. Ha sido traducido a numerosos idiomas)
Poesía
Duka-Mu Abadi (Your Eternal Sorrow). Bandung: Jeihan, 1969
Akuarium . Jakarta: Puisi Indonesia, 1974
Mata Pisau (Blade). Jakarta: Balai Pustaka, 1974
Perahu Kertas (Paper Boat). Jakarta, Balai Pustaka, 1983
Sihir Hujan (Rain Doctor). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983
Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan , Jakarta: Gramedia, 1983
Arloji , Jakarta
HB Jassin 70 Tahun , Jakarta: Gramedia, 1987
Suddenly the Night , Jakarta: Lontar Foundation, 1988
Hujan Bulan Juni: Pilihan Sajak , Jakarta: Grasindo, 1994
PolitikIdeologi dan Sastra Hibrida , Jakarta: Pabelan Jayakarta, 1999
Ayat-Ayat Api , Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Arloji (Wristwatch), 2000
Mata Jendela (The Window's Eye), 2001
Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro ? (What's the News Today, Den Sastro?), 2002
Before Dawn , 2005
Ficción
Pengarang Telah Mati (The Author is Dead), 2001
Membunuh Orang Gila (To Kill a Madman), 2003
No Ficción
Sosiologi Sastra: Sebuah pengantar ringkas (A Brief Introduction to the Sociology of Literature), 1977
Novel Sastra Indonesia Sebelum Parang (1979)
Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Modern Indonesian Literature: Scattered Notes), 1982
Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990)
Politik, Ideologi dan Sastra Hibrida (Politics, Ideology and Hybrid Literature), 1999
Sihir Rendra: Permainan Makna (Rendra the Magician: The Play of Meaning), 1999
Priayi Abangan (The Lapsed Bourgeois),2000
Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Indonesian Poetry Before Independence), 2004
Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (Traces of Realism in Indonesian Literature), 2005
CAMINANDO DETRÁS DEL CUERPO
caminando detrás del cuerpo el viento amaina
las horas pestañean
con inesperada velocidad
la tarde se desliza, ensanchando los caminos de la tierra
al costado: árbol tras árbol inclinan su cabeza
arriba: nuestro sol, el mismo sol también
las horas flotando en algún lugar en el medio
qué inesperadamente vacías cuando se las aspira
Versión en inglés del indonesio por John H. McGlynn
Sajak Telur
Dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung
semoga ada engkau dalam setiap engkau
semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur
("Sajak Telur", Sapardi Djoko Damono, 1982)
Pada Suatu Malam
ia pun berjalan ke barat, selamat malam, solo,
katanya sambil menunduk.
seperti didengarnya sendiri suara sepatunya
satu persatu.
barangkali lampu-lampu ini masih menyala buatku, pikirnya.
kemudian gambar-gambar yang kabur dalam cahaya,
hampir-hampir tak ia kenal lagi dirinya, menengadah
kemudian sambil menarik nafas panjang
ia sendiri saja, sahut menyahut dengan malam,
sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautan
yang memberontak terhadap kesunyian. ……
(2003:1).
Sehabis Mengantar Jenazah
masih adakah yang akan kautanyakan
tentang hal itu? hujan pun sudah selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap
di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja
pulanglah dengan paying di tangan, tertutup
anak-anak kembali bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya
masih adakah? alangkah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba.
(2003: 8).
Hujan Turun Sepanjang Jalan
hujan turun sepanjang jalan
hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali
tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tatkala anginya basah tak ada bermuat debu
tatkala tak ada yang merasa diburu-buru.
(2003:10).
Dalam Sakit
waktu lonceng berbunyi
percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti
kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menjemputmu berangkat berduka
di ruangan ini kita gaib dalam gema. di luar malam hari
mengendap, kekal dalam rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi.
(2003:12).
Variasi Pada Suatu Pagi
(i)
sebermula adalah kabut; dan dalam kabut
senandung lonceng, ketika selembar dauh luruh,
setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput
(kaudengarkah juga seperti Suara mengaduh?)
(ii)
dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama)
bernyanyi bagi ca pung, kupu-kupu, dan bunga; Cahaya
(yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba
pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa
(iii)
menjelma baying-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba
tersentak
ketika seekor burung, menyambar capung
(Selamat pagi pertama bagi matahari), risau bergerak-gerak
ketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah,
bertarung
(2003:37)
Tentang Matahari
Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!” –
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanaya kau menghela
baying-bayangmu itu.
(2003:45)
Sungai, Tabanan
kami berhenti dan memandang kearah sungai
para perempuan sedang menebarkan bibit-bibit kabut di arus
yang riciknya terdengar dari kejauhan
kami berteriak, “apa nama sungai itu?”, tetapi hanya tawa
mereka menyahut, berderai
dan ketika kami mencapai tepi sungai, para perempuan itu
ternyata tak ada – dan kabut menutupi arus sungai
sehingga kami tak tahu ia mengalir ke selatan atau utara
(2003:63).
Bunga, 1
(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi
padang waktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berde-
nyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-
putar di atas padang itu; malam hari. Ia mendengar seru
serigala.
Tapi katanya, “Takut?” Kata itu milik kalian saja, paramanusia.
Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!” ….
(2003:67).
Di Atas Batu
ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke
tengah kali
ia gerak-gerakan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke
sana kemari
ia pandang sekeliling: matahari yang hilang-timbul di sela
goyang daun-daunanan, jalan setapak yang mendaki tebing
kali, beberapa ekor capung –
ia ingin yakin bahwa ia benar-benar berada di sini
(2003:85)
Tentang Seorang Penjaga Kubur Yang Mati
…..
toh akhirnya semua membusuk dan lenyap, yang mati tanpa
gendering, si penjaga kubur ini, pernah berpikir:apakah
balasan bagi jasaku kepada bumi yang telah kupelihara
dengan baik; barangkali sebuah sorga atau ampunan
bagi dusta-dusta masa mudanya. tapi sorga belum
pernah terkubur dalam tanah.
dan bumi tak pernah membeda-bedakan, tak pernah mencinta
atau membenci; bumi adalah pelukan yang dingin, tak
pernah menolak atau menanti, tak akan pernah
membuat janji dengan langit.
lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa
menjaga kuburnya sendiri.
(2003:5).
Saat Sebelum Berangkat
mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata diantara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama
sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti.
(2003:6).
Berjalan Di Belakang Jenazah
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.
(2003:7).
No hay comentarios:
Publicar un comentario